STRATEGI KEBUDAYAAN INDUSTRI MODERN

Jumat, 01 Juli 2011



OLEH; NURFAJRI MURSALIN

Budaya adalah hasil cipta karsa dan rasa manusia, yang menjadi tatanan nilai dalam perilaku masyarakat. Kebudayaan menjadi hal yang sangat penting dalam menentukan sebuah system tatanan masyarakat. Apakah suatu masyarakat memiliki system tatanan yang baik atau tidak dalam proses interaksinya, sangat bergantung dari tingkat nilai-nilai kebudayaan itu. Di setiap negara yang ada di dunia atau kita sebut sebagai suatu masyarakat yang berada dalam suatu wilayah tertentu,  memiliki kebudayaan yang berbeda sesuai perkembangan peradaban dan kondisi dari masyarakat itu sendiri.
Berbagai negara yang ada di dunia ini, satu sama lain tak ada yang sama kebudayaan yang dimiliki sebgai sebuah identitas negara. Negara di Erpo hari ini yang menganut kebudayaan dengan system bebas nilai, dimana mengarahkan masyarakatnya untuk menjadi orang yang hedon dan komsumtif telah menghegemoni negara-negara lain yang ada di dunia. Adanya proses interaksi dari masyarakat eropa dengan masyarak suatu negara menjadi jembatan dalam proses akuturasi sebuah kebudayaan.
Dengan adanya globalisasi pada hari ini, member jalan kepada setiap manusia yang ada di dunia ini untuk berinteraksi dengan manusia yang berada di belahan bumi manapun. Begitupun dengan masyarak suatu negara yang bebas berinteraksi dengan masyarakat manapun di negara lainnya di dunia ini. Proses interaksi inilah yang menjadikan budaya dari suatu negara masuk dalam masyarakat negara  lain. Selain itu, saya melihat bahwa akulturasi kebudayaan tidak hanya lewat dari interaksi yang berlangsung tanpa perencanaan, tapi juga berasal dari proses interaksi yang sengaja ditetapkan ke dalam sebuah system yang akan mencetak suatu masyarakat untuk mengikuti dan melaksanakan suatu kebudayaan.
Di Indonesia, sebuah negara yang terbentang begitu luas dengan bermacam suku, agama dan ras antar golongan menjadikan negara ini sebagai sebuah negara yang begitu majemuk. Dengan kemajemukan yang ada itu menisbahkan bahwa kebuayaan yang hadir dan berkembang di masyarakat pun tentunya beragam. Dengan kebudayaan yang beragam ini tentunya juga bisa menjadi ancaman terhadap kedaulatan sebuah negara. Namun, sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan para pendiri bangsa ini telah memikirkan akan keberagaman ini, sehingga telah digagas sebuah konsep yang juga menjadi dasar atas terbentuknya negara Indonesia. Konsep yang menjadi akulmulasi dari semua kebudayaan yang beragam itu adalah pancasila. Nilai-nilai yang dikandungnya merupakan unsure nilai-nilai yang di warisi bangsa ini dari seluruh suku, agama dan ras antar golongan yang begitu beragam di negara Indonesia ini.
Namun pada kondisi saat ini, selain budaya yang dimiliki bangsa ini juga banyak hadir kebudayaan dari negara lain yang merupakan proses interaksi. Dimana proses interaksi itu ada yang berlangsung secara spontan dan ada yang melalui system yang memang direncakan, dengan maksud untuk menghegemoni kebudayaan bangsa ini dengan kebudayaan asing yang sifatnya hedonis dan komsumtif. Maka proses akulturasi inilah yang menjadi ancaman bagi bangsa kita dalam bidang kebudayaan. Dimana melalui proses akulturasi ini dengan system yang ditetapkan negara asing akan menjadikan bangsa kita kehilangan kebudayaan sebagai budaya bangsa kita dan tergantikan dengan budaya kaum negara asing.
System yang kemudian berkembang di negara kita sebagai sebuah upaya akulturasi budaya asing adalah system pendidikan. Dimana sebuah system pendidikan yang hadir pada hari ini menjadi alat bagi negara lain atau dalam hal ini kapitalis negara maju untuk mencetak manusia Indonesia menjadi bangsa yang berbudaya hedon dan komsumtif bahkan mungkin pada akhirnya akan ikut-ikutan menganut system bebas nilai kaum kapitalis barat. System pendidikan dianggap sebagai alat yang sangat efisien bagi kaum kapitalis dimana dalam proses penyerapan ilmu pengetahuan para peserta didik akan terbias akan budaya yang coba diterapkan. Sehingga tanpa sadar akan menggantikan nilai-nilai budaya yang ada pada bangsa Indonesia dengan nilai-nilai budaya kaum kapitalis.
Atas dasar tersebut, maka perlu ada upaya untuk tetap menjaga nilai-nilai kebudayaan agar kita tidak menjadi masyarakat yang hedon dan komsumtif atau akhirnya menganut system bebas nilai. Oleh karena itu, langkah strategis perlu kita tetapkan dalam upaya menjaga hakikat kebudayaan bangsa ini. Adapun upaya yang bisa menjadi pertimbangan adalah mengubah system pendidikan dengan cara membuat kurikulum yang mengajarkan nilai-nilai budaya (kearifan local) yang ada di tiap daerah di Indonesia.
Uapaya yang kemudian perlu dihadirkan adalah dengan memberikan klasifikasi terhadap jenjang pendidikan yang ada. Adapun jenjang pendidikan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Tingkat SD/ Sederajat
Pada tingkat SD yang masih berada dalam tataran wilayah Desa/Kelurahan maka yang perlu diajarkan adalah kearifan local yang berkembang dalam cakupan wilayah Kabupaten/Kota tempat berdirinya SD. Jadi muatan local yang ada, tidak dihilangkan dengan menggantikan dengan pembelajaran bahasa asing atau teknologi. Tapi harus ada porsi waktu untuk pengajaran nilai-nilai kearifan local ini. Contoh; SD yang berada di daerah Kabupaten Pangkep maka perlu dikenalkan tentang kearifan local yang ada di daerah itu. Semisal falsafah daerah “Kualleang tallang na towalia (lebih baik tenggelam daripada surut kembali)” yang manjadi sebuah pernyatan terhadap diri setiap masyarakat yang ada di daerah Pangkep untuk mengejar apa yang menjadi mimpinya sampai benar-benar tidak mampu lagi. Namun dalam hal ini adalah mimpi yang positif.

2.      Tingkat SMP/ Sederajat
Pada tingkat SMA maka target yang ditetapkan adalah pemberian pembelajaran tentang nilai-nilai budaya atau kearifan local yang mencakup wilayah provinsi. Contoh, SMP/ Sederajat yang berada di provinsi Sulawesi Selatan maka peserta didik perlu mengetahui kebudayaan asli atau kearifan local yang ada di provinsi itu yang merupakan akumulasi dari daerah kabupaten yang ada di wilayah provinsi itu. Misalkan, falsafah bugis-makassar “sipakalebbi, sipakainge, sipakatau, sipakamase dan sipatokkong (saling menghargai, mengingatkan, memanusiakan, menyayangi, dan mendukung/menopang)” serta budaya “siri’ na pace (rasa malu berbuat asusila dan saling menyayangi yang kuat)”. Dimana falsafah itu menjadi roh dalam pergaulan bugis-makassar di masa lau. Sehingga akan tercipta tatanan masyarakat yang harmonis.
3.      Tingkat SMA/ Sederajat
Pada tingkat SMA/ Sederajat maka pengetahuan akan kebudayaan dan nilai-nilai kearifan local harus mencakup wilayah yang lebh luas lagi. Dimana tak lagi hanya berbasis pada daerah provinsi saja tapi secara menasional. Sehingga dalam hal ini peserta didik mengetahui akan keduayaan yang ada di negara ini yang begitu sangat beragamnya namun memiliki nilai-nilai yang sama dalam menyikapi kondisi kemanusiaan. Sehingga tak ada lagi yang memicu perpecahan karena adanya semangat bahwa nilai-nilai yang dikandung tiap suku, agama dan ras antar golongan memiliki kesamaan dalam tataran hidup kemanusiaan.
4.      Tingkat Perguruan Tinggi (PT)/ Sederajat
Pada tingkat perguruan tinggi bagi yang berkesempatan melanjutkan ke jenjang ini maka yang perlu diterapkan adalah pemantapan terhadap nilai-nilai kebudayaan itu. Sehingga mampu lebih memaknai tentang kondisi kebangsaan yang majemuk dengan Banyak kebudayaan di dalamnya.
               Dari tingkatan system pendidikan yang ada, yang menjadi focus adalah bagaimana mengajarkan tentang kearifan local atau nilai-nilai kebudayaan yang ada di tiap daerah di Indonesia dengan pemahaman bahwa itu terakumulasi dalam nilai-nilai pancasila. Bahwa nilai-nilai pancasila adalah sebuah konsep yang mewakili kebudayaan Indonesia, dimana memiliki masyarakat yang majemuk dalam suku, agama, dan ras antar golongan. Sehingga pada akhirnya akan mewujudkan manusia Indonesia yang bermartabat dan mampu memotong kapitalisme yang telah mulai menghegemoni bangsa Indonesia.

0 komentar: